Minggu, 22 Oktober 2017

2.3 Pengembangan Struktur Etika Korporasi

Nama : DINA DWI SANTIA
NPM : 23214134
Kelas : 4EB10


Membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi hati nurani dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekadar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Selain itu dalam mengembangkan struktur etika korporasi, suatu perusahaan harus memiliki good corporate governance. Latar belakang munculnya good corporate governance atau dikenal dengan nama tata kelola perusahaan yang baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatarbelakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relatif tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan.
Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut. Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yang mana mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia, disamping juga menyebabkan krisis global di beberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah Amerika mengeluarkan Sarbanes Oxley Acttahun 2002 yang berisikan penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor.
Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara. Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi yang mencakup (a) hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan perlindungannya, (b) peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya, (c) pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu, (d) transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan, (e) tanggung jawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri, kepada para pemegang saham dan pihak lain yang berkrpentingan.
Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama kali dikenalkan oleh Cadbury Committee di Inggris tahun 1922 yang menggunakan istilah dimaksud dalam laporannya yang dikenal dengan Cadbury Report. Berikut disajikan beberapa definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber, diantaranya:
·         Menurut Cadbury Committee of United Kingdom
“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the goverment, employees, and other internal and external stakeholders in respect to their right and responsibilities, or the system by which companies are directed and controlled”.
·         Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi definisi Cadbury Committee of United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.
·         Menurut Sukrisno Agoes
Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
·         Menurut Organization for Econimocs Cooperation and Development(OECD)
“The structure through which shareholders, directors, managers, set of the board objectives of the company, the means of attaining thoseobjectives and monitoring performance”. (Suatu struktur yang terdiriatas para pemegang saham, direktur, manager, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakandalam mencapai tujuan dan memantau kinerja).
·         Menurut Wahyudi Prakarsa
Mekanisme adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan (prosedur) dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, serta pemantauan atas kinerja yang dihasilkan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pada intinya konsep GCG mengandung pengertian yang berintikan 4 poin, yaitu:
1.      Wadah Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)
2.      Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, serta nilai-nilai yang meladasi praktik bisnis yang sehat
Tujuan:
·         Meningkatkan kinerja organisasi.
·         Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan.
·         Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan organisasi.
·         Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan.
3.      Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang, dan tanggung jawab:
·         Dalam arti sempit: antar pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris dan direksi.
·         Dalam arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan.
4.      Prinsip-prinsip dasar yang melandasi konsep Good Corporate Governance merupakan gabungan prinsip-prinsip dasar dalam membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama agar tercapai rasa kebersamaan, keadilan, optimasi dan harmonisasi hubungan sehingga dapat menuju kepada tingkat perkembangan yang penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha. Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
·         Vision
Pengembangan suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada adanya visi dan strategi yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari seluruh anggota dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya semua pihak akan merasa memiliki dan tanggung jawab dalam kemajuan organisasi atau usahanya.
·         Participation
Dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan suatu organisasi atau badan usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak terkait dan relevan melalui sistem yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan penyampaian pendapat.
·         Equality
Suatu badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan memberi dan menyediakan peluang yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi peningkatan kesejahteraan melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.
·         Professional
Dalam bahasa sehari-hari professional diartikan “One who engaged ina learned vocation” (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan). Dalam konteks ini professional lebih dikaitkan dengan peningkatan kapasitas kompetensi dan juga moral sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat.
·         Supervision
Meningkatkan usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usahaatau organisasi sehingga tujuan bersama dapat dicapai secara optimal,efektif dan efisien, serta untuk meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang mungkin timbul.
·         Effective & Efficient
Effective berarti “do the things right”, lebih berorientasi pada hasil, sedangkan efficient berarti “do the right things”, lebih berorientasi pada proses. Apapun yang direncanakan dan dijalankan oleh suatu organisasi atau badan usaha harus bersifat efektif dan efisien.
·         Transparent
Dalam konteks good governance, transparency lebih diartikan membangun kepercayaan yang saling menguntungkan antara pemerintah atau pengelola dengan masyarakat atau anggotanya melalui ketersediaan informasi yang mudah diakses, lengkap dan up to date.
·         Accountability/Accountable
Dalam konteks pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam meningkatkan tanggung jawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam menjawab kepentingan publik atau anggota.
·         Fairness
Dalam konteks good governance maka fairness lebih diartikan sebagai aturan hukum harus ditegakan secara adil dan tidak memihak bagi apapun, untuk siapapun dan oleh pihak manapun.
·         Honest
Policy, strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau badan usaha harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidakjujuran pada akhirnya akan selalu terbongkar dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan sedang dibangun. Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan long term partnership.
·         Responsibility dan  Social Responsibility
Institusi dan proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak terkait harus dijalankan dalam kerangka waktu yang jelas dan sistematis. Sebagai warga suatu organisasi, badan usaha dan/atau masyarakat, semua pihak terkait mempunyai tanggung jawab masing-masing dalam menjalankan tugasnya dan juga harus memberi pertanggungjawaban kepada publik, sehingga di dalam suatu tatanan atau komunitas dapat terjadi saling mempercayai, membantu, membangun dan mengingat kanagar terjalin hubungan yang harmonis dan sinergis.

Sedangkan lebih sempit lagi, menurut OECD, prinsip dasar GCG yang dikembangkan adalah (a) perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness), (b) transparansi, (c) akuntabilitas, dan (d) responsibilitas.

Ekspektasi Baru – Kerangka Baru
·         Stakeholder mengetahui bahwa mereka bisa memiliki pengaruh yang signifikan pada pasar konsumsi perusahaan, pasar modal, dan pada dukungan yang ditawarkan perusahaan oleh kelompok stakeholder lain seperti pekerja dan kreditur.
·         Reputasi korporasi bisa secara signifikan dipengaruhi oleh emosi stakeholder.
·         Komisaris dan eksekutif melihat boikot, menurunkan pendapatan dan laba, juga menemukan bahwa dukungan stakeholder penting untuk pencapaian optimal atas tujuan jangka menengah dan panjang perusahaan.
·         Beberapa komisaris dan eksekutif menginginkan dukungan dan dengan bantuan dari akademisi dan lainnya, pedoman baru dan rerangka akuntabilitas dibangun, menyempurnakan dengan peralatan dan teknik baru.

Akuntabilitas untuk Shareholder atau Stakeholder?
·         Kapasitas pertumbuhan dari stakeholder nonpemegang saham untuk mempengaruhi pencapaian tujuan korporasi dan peningkatan sensitivitas mereka membuatnya atraktif untuk korporasi untuk mendorong dukungan stakeholder.
·         Skandal Enron, Arthur Andersen, dan Worlcom memperlihatkan bahwa aktivitas korporasi membuat pola untuk menghadiahi eksekutif, komisaris dan beberapa pemegang saham saat ini tidak secara penting pada kepentingan akan masa depan atau pemegang saham saat ini yang diharapkan untuk kesuksesan jangka panjang seperti investor penerima pensiun, pekerja dan pemberi pinjaman.
·         Eksekutif, komisaris, dan investor yang terfokus pada jangka pendek membahayakan kredibilitas seluruh tata kelola korporasi dan proses akuntabilitas.
·         Berdasarkan pada kenyataan adanya tekanan stakeholder dan keinginan untuk mendorong dukungan stakeholder, perusahaan menyadari bahwa mereka bertanggungjawab pada stakeholder dan menatakelola diri mereka untuk meminimalisasi risiko dan memaksimalisasi kesempatan tak terpisahkan dengan rerangka akuntabilitas stakeholder.

Sumber :
Brook, Leonard J. 2004. Business & Profesional Ethics for Directors, Executives, & Accountans. South-Western College Publishing.
Duska, Ronald F. dan B.S. Duska. 2005. Accounting Ethics. Blackwell Publishing.
http://zetzu.blogspot.co.id/2012/05/tata-kelola-etis-dan-akuntabilitas.html

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dina Dwi Santia